Biskal, Cerita Remaja, Cerita Cinta, Awalnya saya bertemu dengan Rian di sebuah terminal saat kami masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat itu hujan rintik-rintik kami berteduh di terminal. Ketika sebuah bis berhenti di terminal untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, Saya dan Rian berlari menuju bis tersebut. Kami tanpa sengaja bersenggolan saat berdesakan untuk naik bis tersebut. Buku kami lalu jatuh berhamburan di guyur hujan rintik-rintik pagi itu. Karena terburu-buru kami tak memperhatikan buku siapa yang kami ambil.
Setelah berada di atas bis itu, kami pun duduk bersebelahan. Dalam hatiku berkata "sepertinya ini bukan sebuah pertemuan biasa". Lama saya mengatur buku yang saya ambil terburu-buru karena takut tertinggal bis pagi itu. Lalu saya melihat sebuah buku dalam tangan saya yang sedikit asing. Rian, tertulis nama disampul buku itu.
Saya lalu berbalik melihat kearah laki-laki itu, terlihat pada dada sebelah kanannya terlihat namanya sangat jelas Rian Ariawan. "Mas, ini bukunya mas" kataku sambil memperlihatkan buku tulisan bersampul Rian. "Iya, itu buku saya mbak terima kasih" jawabnya sambil mengambil buku yang ada di tangan saya.
"Kenalkan, nama saya Rian" sambil mengulurkan tangan kanannya. Saya lalu menyambut uluran tangannya dan menjabatnya. "Saya sudah tau dari sampul buku mas, nama saya Windy" jawabku sambil tersenyum. Kami lalu memulai sebuah percakapan ringan dan bertanya tentang sekolah di mana dan tinggal di mana. Ternyata kami satu sekolah cuman beda kelas dan sama-sama kelas 3 SMA. Dan tempat tinggal kami juga satu lingkungan cuman beda gang.
Dari situlah awal keakraban kami, hingga tiap hari kami lalui bersama. Berangkat bareng, di sekolah kalau istirahat juga selalu bersama, hingga tumbuh rasa cinta dalam hati saya. Orangnya baik, simple, pergaulannya juga biasa saja dan kebanyakan ada di perpus kalau lagi istirahat.
Berbicara masalah perasaan, saya tidak pernah mengungkapkan pada Rian, saya memendam sendiri perasaan saya. Pas hari kelulusan, saya berniat untuk menyampaikan perasaan saya pada Mas Rian. Saya lalu mengajak mas Rian bertemu di dermaga tempat kami sering menghabiskan weekend melalui pesan singkat. "Mas, saya tunggu di Dermaga, saya ingin bicara sesuatu".
Kemudian mas Rian juga membalas pesan singkat saya "Saya juga ingin menyampaikan sesuatu sama adik" Acara kelulusan pun selesai, saya tidak seperti teman-teman yang lain yang melakukan kebiasaan anak sekolah kalau lulusan yaitu corat-coret, saya langsung menuju dermaga dan menanti kedatangan mas Rian.
Saya terus menunggu di dermaga, tapi Mas Rian tidak kunjung datang menemui saya, "Ada apa, kok Mas Rian tidak muncul juga" tanyaku dalam hati. saya lalu mengirim pesan lagi "cepat mas, udah hampir sore" dengan sedikit kesal dalam hatiku yang di buat menunggu lama.
Hari sudah mulai sore, sebentar lagi gelap, dengan berat hati saya melangkah meninggalkan dermaga dan kembali kerumah. Sesampainya di rumah, saya mencoba menghubungi Mas Rian, tetapi HPnya tidak aktif. Saya SMS dengan harapan akan dibalas setelah HPnya aktif, namun hal itu tidak kunjung datang.
Setelah sebulan, tanpa sengaja saya bertemu dengan Rio, teman Rian. Yang ikut membatu usaha orang tuanya di toko bunga setelah pulang kuliah. "Hai Mas Rio" sapaku, Rio langsung menoleh dan seperti kaget melihat saya. "Hai Windy" jawabnya dengan muka yang masih terlihat kaget. "Kamu apa kabar ?" menanyakan keadaannya. "Saya baik" jawabnya.
"Kamu tau tidak dimana mas Rian ?" tanyaku lagi. Dia lalu tertunduk lalu menarikku kearah tokonya dan meminta ku duduk di kursi depan tokonya, kemudian duduk di sebelah ku. Lalu kembali tertunduk seperti menyesali sesuatu.
"Kamu belum jawab pertanyaan ku, Kamu tau di mana Mas Rian?" kembali aku bertanya. Mas Rio lalu menoleh kearah ku dan berkata "Mas Rian sudah Mati". Sontak aku kaget, dadaku berdebar keras, kulihat mata Mas Rio berkaca. "Kamu jangan bercanda" jawabku dengan sedikit membentak. "Aku tidak bercanda Win, aku serius, Rian sudah Mati"."Bagaimana bisa, kenapa saya tidak diberi kabar", dengan nada sedikit emosi.
Lama mas Rio tertunduk, dan ketika sudah mampu mengendalikan emosinya, dia mengusap air matanya. Ia mulai bercerita, "Ceritanya gini, pas hari kelulusan, saya dan Rian ingin corat-coret baju,tapi katanya Rian tidak bisa ikutan karena ada hal penting yang ingin ia lakukan. Ia butuh setangkai bunga mawar. saya lalu menawarkan Rian membeli bunga di toko saya dan ia setuju. Kami lalu berangkat ke toko ini, tempat kita duduk sekarang, dan Rian membeli setangkai bunga mawar. Rian tidak pernah cerita pada siapa bunga itu di tujukan, karena selama ini Rian tidak pernah bicara masalah cewek pada saya atau teman lainnya. Karena itu saya dan teman-teman tidak tau untuk siapa bunga itu.
Rian kemudian mengeluarkan pulpen dan kertas dari dalam tas yang ia bawa, dan sebuah amplop berwarna pink. Setelah membuat tulisan dan memasukkan kedalam amplop, ia mengangkat HPnya dan berkata "aku harus segera berangkat, takut kalau dia menunggu lama". Dengan cepat dia berlari dan saya terus bertanya, "siapa Dia yang Rian maksud?".
Tiba-tiba terdengar suara blukkk, seperti sebuah tabrakan. Saya melihat orang berlarian menghampiri arah suara tersebut. Saya pun langsung berlari kearah sumber suara itu dan itulah pemandangan yang paling sakit yang pernah aku lihat.
Sahabatku Rian terbaring bersimbah darah, dengan mawar dan amplop warna pink ditangannya. Saya langsung memeluknya dengan panik meminta orang untuk memanggil ambulans. Saya menatap Rian di pangkuan saya, matanya masih tertutup, mulutnya gemetar. "Rian bangun, ini saya Rio" sambil berusaha membuat ia terbangun. "Rio, tolong sampaikan ini pada Dia, dan jangan buka isinya kecuali dia" suara lirih dari mulut Rian yang penuh dengan darah. "Dia siapa Rian?". tanyaku. Tapi semua sudah terlambat. Rian sudah meninggal.
Sejak itu saya mulai mencari untuk siapa bunga itu. Saya telah bertanya pada semua teman-teman tetapi tidak ada satupun yang tau.
Air mataku tak terbendung lagi, saya menagis sejadi-jadinya. Rio melihat kearah ku, sambil mengusap air matanya. "Apa kamu gadis yang dimaksud Rian sebagai Dia?" tanya Rio. Aku masih menangis, masih tak percaya, dengan suara gemetar aku bertanya "dimana bunga dan aplop itu".
"Aku menyimpannya di dalam toko, sebentar aku ambilkan", sambil beranjak dari tempat duduk dan masuk kedalam toko bunga yang ia jaga. Tidak lama Rio keluar dengan setangkai bunga mawar yang sudah hampir layu dan sebuah amplop berwarna pink.
Rio menyodorkan bunga dan amplop itu pada saya, "ini bunga dan amplopnya". Saya lalu mengambil bunga dan amplop itu, dan semakin air mata saya mengalir deras. Kemudian saya mencoba membuka amplop itu tetapi Rio mencoba untuk menghalangi. "Pesan Rian, amplop itu hanya boleh di buka oleh Dia, apa kamu yakin bunga dan amplop itu". Saya lalu menceritakan tentang saya dan Rian yang berjanji bertemu di dermaga setelah acara kelulusan. Dan Rio akhirnya mengijinkan untuk membuka amplop itu setelah yakin bahwa amplop itu untuk saya.
Saya mulai membuka amplop itu dengan tangan gemetar dan air mata yang terus menetes. Perlahan saya mengeluarkan isinya dan membukanya. Sebuah tulisan tangan yang sangat rapi, berisi sebuah pesan.
Buku yang kau kembalikan
Bukan sebuah kebetulan semata
Tapi adalah takdir tuhan mempertemukan kita
Membuat kita berteman dan bersahabat
Hingga aku sadar tentang semuanya
Bahwa aku ditakdirkan mencintamu
Ijinkan aku mencintaimu
Menjaga dan melindungimu
Mengasihimu dengan seluruh jiwa dan cintaku
Windy, I love U